YOGYAKARTA – Mahasiswa Sekolah Tinggi Multi Media (STMM) sebagai calon broadcaster diminta lebih mengedepankan mutu daripada mengejar rating. Pasalnya penyakit rating ini telah menjangkiti sebagian besar media nasional. Sejumlah tayangan yang bermutu rendah justru mendapat porsi tayang lama karena ratingnya bagus. Ini ironis, karena media massa punya pengaruh kuat dalam membentuk masyarakatnya.
“Anda akan sangat mempengaruhi Indonesia. Dan ini bukan jalan yang mudah, karena Anda akan berhadapan dengan rating. Kalau sudah begini mutu kadang tidak diperhatikan,” ungkap sutradara dan novelis Habiburahman El Shirazy, saat Talk Show Pernak-pernik Ramadhan #2 di Joint Lecture Room, STMM, Rabu (8/6).
Pria yang akrab disapa Kang Abik ini mengalami sendiri ketika ia diminta menggarap skenario sinetron berdasarkan novel larisnya. Jika ia sudah merancang bahwa sinetron pada 60 episode maka tidak ada lagi pilihan selain cerita selesai. Meski begitu, seringkali rating bagus membuat orang-ornag yang lebih berkepentingan dengan uang membujuknya untuk meneruskan cerita. Namun, Kang Abik tetap berprinsip bahwa cerita tidak boleh diulur-ulur lagi.
“Saya ditawari, kalau nanti diperpanjang Kang Abik dapat duit segini-segini. Masya Allah apa yang kita cari itu duit-duit terus? Bagi saya cerita sudah selesai. Rating satu sudah. Ya sudah selesai,” ujarnya dalam acara yang dimotori Mujahid Islam Multimedia (MIM) STMM.
Menurut Kang Abik sudah menjadi prinsip bahwa setiap cerita harus punya rancangan dan konsep yang matang dari awal hingga akhir dari tokoh, alur, hingga penyelesaiannya. Hal inilah yang akan menjaga mutu cerita.
“Untuk menentukan nama tokoh saja bisa seharian saya. Saya list banyak, bagusnya apa ya? Nanti suspense dimana, sehigga pembaca atau penonton itu bisa merasa tersentuh. Itu sudah matang dulu. Kalau desain yang sudah dibuat ini dipaksakan untuk diteruskan padahal seharusnya sudah selesai ya pasti tidak akan bagus lagi,” tuturnya.
Penulis Di Atas Sajadah Cinta itu berharap para mahasiswa STMM yang akan terjun di dunia penyiaran harus punya idealisme itu. Mutu tayangan tidak boleh dikorbankan hanya karena alasan rating.
“Entah nanti jadi produser, sutradara, penulis naskah, orientasinya bikin tayangan yang baik. Hal yang baik akan terus mengalirkan pahala. Sebaliknya hal yang jelek akan menimbulkan siksa. Wah, Ramadhan jadi kayak gini ya ngobrolnya,” tutupnya sembari tertawa. (Sony W)